loading...

Syarat-Syarat Tempat Suci

SYARAT- SYARAT TEMPAT SUCI





Syarat-syarat Pembuatan Tempat Suci (Pura), Pura sebagai tempat suci yang dikramatkan oleh umat Hindu, pada waktu permulaan pendirianya diperlukan mengikuti proses ketentuan-ketentuan, sebagai berikut :

1.     Masyarakat setempat telah mengadakan pemufakatan untuk mendirikan sebuah Pura, maka maksud itu dismapaikan kepada pendeta (pandita), agar beliau memilihkan tanah (tempat)yang baik untuk tujuan tersebut. Mengenai pemilihan tempat yang cocok untuk bisa dibangun sebuah Pura oleh pendeta (pandita) didasarkan oleh yoga. Setelah itu melalui yoga (perhubungan) didapat inspirasi, apakah tempat dimaksud cocok atau tidak. Di samping itu, yang perlu juga diperhatikan adalah bau dari tanah itu, apakah harum atau busuk, yang harum adalah menjadi pilihan. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi letak tanahnya. Pada umumnya dicari letak tanah yang agak meninggi dari situasi lingkungannya, sehingga faktor keagungan dan kesucian bisa tetap dipertahankan.
2. Setelah tempat diketemukan, maka mulailah pekerjaan mengukur tanah dengan mempergunakan pedoaman lontar-lontar seperti Asta Kosala Kosali, yaitu lontar yang memuat perihal seni bangunan. Setelah tanah didapatkan dan diukur, selanjutnya dilaksanakan upacara Pamarisudha Tanah (pembersihan tanah). Dalam hal ini disertakan dengan sesajen-sesajen antar lain daksian dan sodaan, yang ditujukan kepada Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebgai dewi pertiwi untuk merelakan kepin tanah dibawah kekuasaan-Nya, Uraian mengenai hal ini lebih rinci diuraikan dalam lontar Wiswakarma dan Bhamukrtih.

Setelah upacara Pamarisudha Tanah selesai, dilanjutkan dengan upacara “Nasarin” (peletakan batu pertama). Upacara ini sebagaimana disebutkan dalam lontar Catur Winanasari, maka pelaksanaannya disertai dengan mantram Pertiwi Astawa, yang tujuannya memohon kerelaan Ibu Pertiwi. Upacara Nasarin (peletakan batu pertama) ini biasanya dilakukan pada hari Purnama (bulan penuh) atau pada hari Tilem (bulan mati). Hal ini disebabkan kerena pada hari Purnama dan Tilem itu merupakan hari pensucian para Dewa. Upacara ini disertai dengan upakara (banten) burat wangi dan lenga wangi (sejenis canang sari) yang ditanam pada dasar bangunan suci yang akan didirikan. Demikian pula pada dasar dari pelinggih-pelinngih tersebut disertakan rarajahan “Bedawang” pada sebuah batu bata.

1.  Setelah upacara Nasarin (peletakan batu pertama) selesai, maka dilanjutkan dengan penentuan bahan-bahan bangunan yang akan dipergunakan untuk membangun atau mendirikan pelinggih-pelinggih pada tempat suci tersebut. Misalnya penentuan dan pemilihan kayu dibedakan atas beberapa macam menurut kwalitas dan keadaan masing-masing, yaitu ada kayu prabhu, kayu arya dan kayu patih. Yang disebut kayu prabhu, misalnya kayu ketewel, dan kayu cendana. Kayu arya, misalnya kayu sentul dan kayu jati, sedangkan kayu cempaka disebuut kayu patih. Demikian pula mengenai penggunaan atap dari tempat suci itu, biasanya dan kebanyakan terbuat dari ijuk yang disusun berlapis-lapis sehingga cukup tebal. Penggunaan ijuk ini dimaksudkan, disamping untuk mendapat keangkeran, juga juga dari segi kekuatan, ijuk itu lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh iklim.

2.     Selanjutnya, apabila bangunan-bangunan atau pelinggih seluruhnya telah selesai dibangun, maka menyusullah fase penyucian. Fase pertama disebut dengan “Pamelaspas Alit”, yang maksudnya penyucian bangunan-bangunan itu dari bekas-bekas keletehan (kekotoran) yang mungkin dibawa atau disebabkan oleh para pekerja pada saat membuat bangunan itu. Kemudian fase selanjutnya, dilakukan penyucian seluruh kompleks tempat suci (Pura) itu. Penyucian ini disebut dengan  “Pamelaspas Agung”. Upacara Pamelaspas Agung ini dailakukan dan ditetapkan pada hari yang baik, yang selanjutnya akan dipakai sebagai hari yang baik, yang selanjutnya akan dipakai sebagai hari perayaan atau piodalan setiap enam bulan (210 hari) sekali atau setahun sekali.

A.   Jenis-jenis Tempat Suci
Jenis-jenis tempat suci berdasarkan atas karakternya, dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu :

1.     Pura Keluarga
Pura Keluarga ini juga disebut Sanggah, Pura Dadya, Pura Kawitan, Pura Pedharman, Paibon, Panti, dan lain sebagainya. Kelompaok Pira ini didukung oleh segolongan orang-orang yang mempunyai hubungan darah (genealogis). Oleh karena itu Pura-pura ini ada di lingkungan rumah tangga. Jika pendukungnya ada di dalam lingkup yang lebih kecil disebut dengan Sanggah atau pamerajan, dan apabila keluarga bersangkutan telah bertambah besar dan meluas, maka didirikanlah Pamerajan atau sejenisnya. Yang dipuja (disembah) di dalam Pura Keluara ini adalah Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta segala manifestasinya termasuk Dewa dan Pitara yang dianggap telah suci. Pelinggih-pelinggih pokok yang ada di Pura keluarga ini, antara lain adalah Kemulan, yaitu pelinggih yang beruang tiga merupakan tempat pemujaan Tri Murti dan Dewa Pitara, Padmasana, Meru, Gedong-gedong Pesimpangan, Bale Penyimpangan, Bale Piyasan dan Bale Panggungan.

2.     Pura Desa
Pura Desa ini disebut pula Pura Kahyangan Tiga atua Kahyangan Desa, yaitu Pura tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Wisesa dan Tri Murti. Pura ini terdiri dari Pura Desa ( Balai Agung) ialah tempat pemujaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam manifestasiNya sebagai Brahma yaitu Pencipta, Pura Puseh atau Pura Segara ialah tempat pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Wisnu yaitu Pemelihara, dan Pura Dalem ialah tempat Pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Ciwa yang berfungsi sebagai Pemralina. Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa ini didukung dan di sungsung oleh tiap-tiap desa di tempat mana Pura (Kahyangan) itu didirikan.

3.     Pura (Kahyangan Jagat)
Kahyangan Jagat ini juga disebut dengan Pura Umum, artinya adalah  suatu pura yang didukung dan disungsung  oleh Umat Hindu yang ada di seluruh Indonesia pada khusunya dan seluruh Umat Hindu umumnya. Di Indonesia, Pura yang paling besar yang tergolong Kahyangan Jagat ini adalah Pura Besakih. Di samping Pura Besakih, tempat suci yang juga tergolong Kahyangan Jagat, sebagaimana disebutkan dalam lontar-lontar di Bali adalah Pura Batur atau Ulun Danu sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam  manifestasi-Nya sebagai Wisnu, Pura Andakasa adalah tempat Memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya  sebagai Brahma, Pura Lempuyang adalah tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Iswara, Pura Goa Lawah tempat memuja Maheswara, Pura Uluwatu adalah tempat memuja Rudra, Pura Watukaru tempat Mahadewa dan Pura Bukit Pangelengan atau Gunung Mangu adalah tempat Sangkara. Sedangkan Pura Besakih adalah tempat memuja Hyang Widhi (Tuhan Yng Maha Esa) dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa dan Sambhu.
Semua Pura Kahyangan Jagat ini terletak di seluruh penjuru mata angin pulau Bali, yang berfungsi sebagai pelambang untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Semua Dewa yang berstana di tiap-tiap Pura Kahyangan Jagat ini adalah personifikasi atau perwujudan Hyang Widhi  (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai Dewa Nawasangha. Di samping Kahyangan-kahyangan tersebut diatas, ada lagi Kahyangan-kahyangan lain yang mempunyai kedudukan yang sama seperti misalnya Pura Pulaki di bagian Barat Buleleng, Pura Masceti di pantai Selatan Gianyar, Pura Sakenan di pulau serangan (Badung), Pura Tanah Lot di pantai Tabanan dan lain sebagainya. Dalam perkembangan  selanjutnya banyak lagi Pura atau Kahyangan yang dapat dikategorikan sebagai Kahyangan Jagat, seperti misalnya Pura Mandara Giri Semeru Agung Senduro Lumajang Jawa Timur dan lain-lainnya.

4.     Pura yang bersifat Fungsional
Yang di maksud dengan pura Fungsional disini adalah dimana pemuja, pendukung atau penyungsung dari Pura atau tempat suci tersebut mempunyai suatu kepentingan yang sama dalam hal-hal tertentu. Tempat suci yang termasuk golongan Pura Fungsioanal ini adalah Pura Subak (Ulun Suwi/Ulun Carik) dan lain sebagainya. Pura subak disungsung dan didukung oleh para petani sebagai anggota dari suatu subak, mereka mempunyai kepentingan yang sama terutama dalam mendapatkan air untuk sawah-sawah mereka, maka bersama-samlah mereka mendirikan pura. Yang dipuja diPura Subak ini adalah Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai wisnu dengan saktinya Dewi Sri, yang memberikan dan yang menjadi sebab dari kesuburan itu.

B.   Pembagian Denah Pura (tempat suci), Macam-macam dan bentuk-bentuk Pelinggih

Pada umumnya suatu tempat suci (Pura) yang besar, denah atau halamannya dibagi atas tiga bagian, yaitu terdiri dari jabaan (jaba sisi)terletak dihalaman muka yang disebut pula Nista Mandala, Jaba Tengah terletak dihalaman tengah dan disebut pula Madya Mandala, dan Jeroan terletak dihalaman dalam yang disebut juga Utama Mandala. Masing-masing halaman (mandala) tersebut, mempunyai fungsi yang yang berbeda-beda sesuai dengan keperluannya dalam upacara agama. Demikian pula yang menyangkut dengan maslah letak dan jenis-jenis bangunan pelinggih, sangat berkaitan dengan adanya denah-denah tersebut.
Biasanya, jenis-jenis bangunan pelinggih yang ada dihalaman muka (jabaan) dari tempat suci (Pura) itu adlah balai kulkul, balai Wantilan, balai Pawaregan dan Jineng. Sedangkan yang da dibagian tengah (jaba tengah) adalah Balai Agung, Balai Pagongan dan lain-lainnya. Selanjutnya pada halaman dalam (jeroan), terdapat jenis-jenis bangunan atau pelinggih yang merupakan sthana Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa-dewa, yang bentuk serta letaknya disesuaikan dengan fungsinya masing-masing. Adapun bangunan-bangunan dimaksud adalah Padmasana, Meru, Menjangan Sluang, Pengaruman, Piasan, Penyimpenan dan lain-lain.


                                                         


0 Response to "Syarat-Syarat Tempat Suci"