loading...

Keluarga Bahagia dan Sejahtera Menurut Perspektif Hindu

KELUARGA BAHAGIA DAN SEJAHTERA MENURUT PERSPEKTIF HINDU


KELUARGA BAHAGIA DAN SEJAHTERA MENURUT PERSPEKTIF HINDU, Dalam berbagai wacana penbangunan, acapkali wacana mengenai keluarga bahagia dan sejahtera dimunculkan. Kata bahagia selalu dikaitkan dengan aspek psikologis dan ukuran-ukuran perasaan yang paling dalam. Sementara kata sejahtera dikaitkan dengan ukuran pemenuhan kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, dan papan atau materi. Kata bahagia dan sejahtera selalu dikaitkan dalam satu pengertian tunggal, yang menggambarkan adanya situasi seimbang antara suasana batin dan suasana lahir. Pendek kata, sebuah keluarga tidak pernah disebut bahagia jika hanya berkecukupan harta, tetapi tidak menikmati suasana bathin yang baik. Keluarga bahagia dan sejahtera kemudian menjadi tujuan sekaligus harapan ideal sebuah keluarga Indonesia. Keluarga sejahtera diidentikkan dengan keluarga yang cukup sandang, pangan, dan papan. Keadaan cukup tentu bersifat relatif, tetapi di dalamnya terkandung makna mampu memenuhi kebutuhan minimal, sehingga keadaan seperti itu mampu menciptakan suasana kebatinan tenang dalam keluarga tersebut.

Peran Istri Mewujutkan Keluarga Bahagia dan Sejahtera
Untuk mewujutkan keluarga bahagia dan sejahtera tentu tidak bisa dibebankan kepada Istri atau Suami saja, melainkan harus diupayakan bersama-sama. Seorang suami dituntut tanggungjawab, sementara seorang istri dituntut kesetiaan. Dalam sastra Hindu disebutkan “Jangan sekali-kali engkau menyebut dirimu Bapak, manakala engkau tidak pernah bertanggungjawab terhadap keluargamu. Demikian pula halnya dengan perempuan “Jangan sekali-kali engkau menyebut dirimu Ibu tidak mampu memelihara kesetiaanmu pada suami dan anak-anakmu’ Jadi antara suami dan Iastri secra sepintas diberikan penegasan akan kewajiban yang berbeda, namun pada hakekatnya kedua kewajiban itu diharapkan saling bersinergi sehingga mampu menopang terciptanya keluarga bahagia dan sejahtera atau keluarga sukinah.

Hubungan antara suami dan istri secara seimbang telah dinyatakakan secara simbolis dalam konsep Ardanareswari yaitu simbol Tuhan dalam manesfestasi sebagai setengah Purusa dan Pradana Kedudukan Purusa disembolkan dengan Siwa Sedangkan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma.Di dalam Proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi feminim. Tiada sesuatu apapun akan menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini telah memberikan bayu terciptanya berbagai makluk dan tumbuhan yang ada. Makna Simbolis dari konsep Ardanareswari ituKedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi dengan laki-laki, malahan dimuliakan. Tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan bawah kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya dalam berbagai Seloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki. Dalam Sloka Manawa Dharma Sastra disebutkan  : 

Jamaya Yani Gehani 

Capantya patri pujitah, Tani krtyahatanewa. Winacyanti samantrah

Artinya :
Rumah dimana perempuannya tidak dihormati. Sewajarnya, Mengucapkan kata-kata kutukan, Keluarga itu akan hancur seluruhnya Seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib

Kutipan sloka di atas menunjukkan bahwa perempuan dalam teologi Hindu bukanlah tanpa arti. Malahan ia dianggap sangat berarti dan mulia, sebagai dasar kebahagiaan rumah tangga. Dalam Yayurvedadijelaskan bahwa perempuan adalah perintis, orang yang senantiasa menganjurkan tentang pentingnya aturan dan ia sendiri melaksanakan aturan itu. Perempuan adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan bagi keluarga. Substansi dari sloka diatas juga menunjukkan perempuan adalah makhluk Tuhan yang memiliki kompleksitas peran dan kemuliaannya sendiri (religius, estetis, ekonomi, maupun sosial). Di balik kelembutannya, perempuan juga memiliki kedasyatan yang dapat dipahami melalui epos besar Ramayana, Mahabarata, dan kisah mencengangkan musnahnya Kota Dwarawati akibat kutukan Gandhari. Besarnya peran istri dalam pembentukan keluarga bahagia dan sejahtera, menyebabkan istri tidak semata-mata dimaknai sebagai seorang perempuan yang melahirkan, tetapi mereka yang mampu memberikan ‘keteduhan’ bagi keluarganya. Oleh karena itu, dalam Canakia Niti Sastra, V.23 disebutkan :

Raja patni guroh patni, Mitra patnitathaiva ca
Patni mata svamata ca, Pancaita matarah smrtah 

Artinya:
Istri raja, istri guru, istri teman, ibu mertua, dan ibu sendiri semuanya disebutkan sebagai guru.

Mengapa istri raja dianggap sebagai ibu, karena seorang istri raja seharusnya tidak saja melindungi anak-anaknya dan keluarganya sendiri, tetapi melindungi semua rakyat yang ada di wilayah kekuasaannya. Sikap seorang ratu menyayangi seluruh rakyat seperti menyayangi anak-anaknya sendiri. Oleh karena itu dia harus diperlakukan dan dihormati sebagai ibu. Istri guru juga harus diperlakukan sebagai ibu, karena istri guru itu identik dengan sang guru yang telah membuat kita semua menjadi melek huruf, berpengetahuan, dan memiliki eksistensi dalam kehidupan ini. 
Teman yang dimaksud dalam makna ini mereka yang setia dalam suka dan duka, orang yang dapat dipercaya, bukan mereka yang dekat ketika kita sedang berkuasa dan menjauh ketika kita sedang mengalami duka nestapa. Istri teman yang mampu melaksanakan peran seperti itu harus dianggap sebagai ibu. Mertua adalah ibu dari istri atau suami, karena itu kedudukannya harus disamakan dengan ibu yang melahirkan kita sendiri. Keduanya harus diperlakukan dan dihormati ibarat seorang dewi yang telah memberikan kebahagiaannya bagi keluarga. Pengertian ibu seperti tersebut di atas menempatkan seorang perempuan harus mampu memerankan sejumlah tugas bagi anak-anaknya, suami, mertua, dan lingkungan yang lebih luas. Dalam kaitannya dengan peranan yang lebih khusus, yaitu sebagai ibu sekaligus istri maka ia harus mampu memerankan diri sebagaimana dinyatakan dalam sloka Rgveda VII,33,19 berikut Stri hi brahma babhuvitha. Artinya, wanita sesungguhnya adalah seorang sarjana dan pengajar. Kutipan di atas begitu sarat dengan kewajiban, tetapi ada satu hal yang ditekankan betul dalam kaitannya dengan peranan wanita, yaitu kesetiaan. Seorang ibu dan atau istri nampaknya dituntut kesetiaannya sebagaimana dinyatakan pula pada sloka berikut :

Panigrahasya sadhivistri, Jiwato vanirtasya va
Patilokamabhipsant, Nalare klurcidapriyain ( MDS, V, 156)

Artinya
Seorang Istri yang setia, yang ingin tinggal bersama terus, dengan suaminya sampai nanti setelah ia meninggal. Tidak melakukan sesuatu yang menyakiti hati orang yang mengawinnya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.

Kokilanani svaro rupani, Nari rupain patipratain
Vidya rupain kurupanain, Ksama rupain sapasvinain

Artinya 
Burung tekukur menjadi indah karena suaranya. Seorang istri menarik karena kesetiaannya kepada suami. Orang yang rupanya buruk menjadi menarik karena ilmu pengetahuannya. Dan karena sifat pengampun pendeta menjadi menarik.

Sloka-sloka di atas mempertegas bahwa seorang ibu dan istri seharusnya mampu memelihara dan memegang teguh kesetiaannya. Hanya dengan itu ia akan mampu mewujudkan kebahagiaan sebagaimana dinyatakan dalam Canakia Niti Sastra sloka V,9 maupun dalam Canakia Niti Sastra sloka II,4 berikut :

Vittina raksyate dharmo, Vidya yogina raksyate
Nirdana rak’yate bhupah, Sat striyarak’yate grham

Artinya :
Agama dipelihara dengan harta, ilmu pengetahuan Veda. Dipelihara dengan memperaktekkan Yama, Niyama, dan lain-lain cabang yoga. Raja dipelihara dengan kata-kata menyenangkan, rumah tangga dipelihara oleh istri yang utama.

Peran istri dalam mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera tidak akan terwujud begitu saja, tetapi harus dibentuk oleh pihak lain secara bersama-sama. Suami, anak, keluarga, dan lingkkungan juga akan memberikan kontribusi terhadap terbentuknya kondisi demikian. Oleh karena itu, setiap suami dan anggota keluarga lainnya harus mampu ikut  menciptakan agar wanita senantiasa hidup dengan perasaan senang, senantiasa wajahnya berseri-seri. Hanya dengan kondisi demikian keluarga itu akan diberikan kedamaian, keteduhan, dan pada akhirnya kebahagiaan sejati, sebagaimana dinyatakan dalam sloka-sloka Manawa Dharma Sastra berikut:

Striya tu Rocamanayam,Sarvwam tadrocate kulam,
Tasyam twarocammanayam,Sarwamewa na rokate (MDS, III,26)

Artinya:
Jika sang istri selalu berwajah berseri-seri, seluruh rumah akan kelihatan bercahaya, tetapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan kelihatan suram.

Jamayo yani gehani,Capantya patri pujitah,
Tani krtyahatanewa,Winacayanti samantarah (MDS,II,58)

Artinya:
Rumah dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, dengan mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya kesana dihancurkan oleh kekuatan gaib. 

Dansatu hal yang juga tidak kalah penting adalah memberikan penghargaan kepada wanita pada saat-sat yang tepat sebagaimana diamanatkan dalma sloka Manawa Dharma Sastra berikut: 

Tasmadetah sada pujya, Bhusanaccha dana sanaih
Bhuti kamair narair mityam, Satkaresutsa vesu ca (MDW,III,59)

Artinya :
Oleh karena itu, orang yang ingin sejahtera harus selalu menghormati wanita pada hari raya dengan memberi hadiah perhiasan, pakaian, dan makanan. 

Memberi hadiah kepada ibu dan istri pada saat hari raya adalah tindakan yang dapat memuliakan hidup, baik bagi diri sendiri (yang melakukannya) maupun kepada keharmonisan keluarga secara keseluruhan. Besaran hadiah bukan menjadi ukuran, melainnkan keikhlasan memberi tersebut menentukan kualitas pemberian. Karena itu wanita juga tidak boleh pamrih, wanita harus bisa merasa puas dengan apapun jenis dan kuantitas yang diberikan sebagaimana dinyatakan oleh sloka (Canakia Niti Sastra., II,3). “Kalau seorang anak bhakti kepada orang tua, sang istri penurut, merasa puas terhadap harta benda yang dimiliki, sebenarnya kesenangan Surga dinikmati oleh orang tersebut di dunia ini.”. Semua hal-hal yang telah disampaikan, tidak dengan serta merta akan dapat dicapai oleh setiap orang dalam waktu seketika. Proses ini memerlukan waktu dan kemauan untuk melaksanakannya. Tapi yang tidak kalah pentingnya  adalah kemauan untuk saling memahami satu dengan yang lain.

0 Response to "Keluarga Bahagia dan Sejahtera Menurut Perspektif Hindu"