MENGHAYATI TUHAN MELALUI SASTRA AGAMA, Sebagaimana telah
disebutkan, puncak kejayaan karya sastra agama sebagai media pendidikan
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia mengalami puncak dari
abad ke-10 sampai abad ke-15. Karya sastra itu sangat penting dan bermanfaat,
karena untuk mendalami isi Weda yang rumit dan penuh rahasia spiritual itu
tidak mudah, apalagi bagi umat kebanyakan. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab
Maha Nirwana Tantra bahwa pada zaman Kerthayuga, Weda merupakan kitab pegangan
utama. Kemudian pada zamanTrethayuga, Dharmasastra-lah yang menjadi pegangan
utama. Lalu pada zaman Dwaparayuga, Purana dan Itihasa sebagai kitab pegangan
utama. Kitab-kitab yang tergolong kitab agama itu memuat banyak aturan yang
mencakup sistem atau cara penggunaan mantra. Karya-karya sastra agama sebagai
media untuk mengantarkan isi Weda dalam
menghayati Sang Hyang Widhi Wasa dan ajaran-ajarannya. Di Indonesia hal itu sudah berkembang pada awal
abad ke-20 bahkan mungkin sudah sejak sebelumnya. Prasasti yang dikeluarkan
Raja Belitung pada tahun 907 Masehi, ada disebutkan bahwa ada orang yang
“mewayangkan” cerita Bima Kumara, ada yang menarikan tarian kicaka, ada yang
menceritakan Ramayana. Dari prasasti itu dapat disimpulkan bahwa pada zaman
tersebut itihasa yaitu Ramayana dan Mahabrata. Semua aspek kehidupan akan kita
jumpai dalam Ramayana. Isi ceritanya membicarakan realita hidup menuju idealita
hidup melalui tuntunan dan perlindungan
Tuhan Yang Maha Esa. Epos Ramayana yang sangat populer itu juga tampil dalam
berbagai bentuk kegiatan terutama yang bernilai seni budaya seperti seni lukis,
seni pahat, seni pentas dan lain-lainnya. Dan ini pulalah yang menyebabkan
cerita Ramayana semakin populer di dunia. Terlepas dari semua itu, yang jelas
Kakawin Ramayana adalah karya sastra agama yang memuat tentang penghayatan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran-ajarannya. Isi kakawin tersebut
benar-benar sempurna, sebagai penuntun kehidupan umat manusia menuju hidup yang
sempurna. Dari sekian banyak bait yang memuat tentang ajaran-ajaran
penghayatan, kita ambil saja contoh sargah 1.3, yang berbunyi :
Gunamanta
Sang Dasaratha,
Wrung
sira ring Weda, Bahkti ring dewa
Tar
malupeng pitra puja,
Masih
ta sireng swagotra kabeh.
Artinya
:
Amat
budiman (utama) sang raja dasaratha,
Memahami
benar isi Weda dan sangat bhakti pada tuhan,
Tidak
pernah lupa memuja leluhurnya,
Sangat
mencintai (sayang) pada seluruh keluarganya.
Dalam
bait ini secara jelas konsepsi pemujaan yang diketengahkan yaitu memuja Tuhan
(bhakti ring Dewa) dan memuja leluhur (tar malupeng pitra puja). Dan pada
kenyataan tempat-tempat pemujaan Hindu yang kita jumpai memililki fungsi yaitu
untuk memuja Tuhan (Dewa) dan memuja roh suci (Dewa Pitara). Pemujaan terhadap
Tuhan dan Dewa Pitara bersumberkan pada Weda dan untuk diamalkan pada orang
lain. Penghayatan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, kita dapat lihat dalam tokoh-tokoh utama yang membentuk cerita
Ramayana tersebut. Rama disebutkan Awatara Wisnu (lambang purusa) dan Dewi Sita
penjelmaan Dewi Sri lambang Pradana. Pertemuan Purusa dan Pradana, dalam alam
pikiran manusia terdapat sifat Tri Guna (Sattwam, Rajah, Tamah). Tri Guna
inilah yang bergolak “merebut” tubuh manusia sebagai alat untuk mewujudkan
sifat-sifatnya.
Sebelumnya
Rahwana telah mendapat peringatan dan nasihat yang sangat tulus dan bernilai
tinggi dari Sang Hanoman , ketika diutus oleh Rama ke Alengkapura untuk
menjumpai Dewi Sita. Hanoman sebagai salah satu lambang kekuatan yang membela
kebenaran, menasehati Rahwana sebagai yang disebutkan dalam Kekawin Ramayan
sargah 21 (Nawamas sargah) sebagai berikut :
Dharma
lawan artha tama kama
Nyangtiga
yekawas temunta
Yat
pranatapi Sang Raghu Putra
Artinya:
Dharma,
Artha (kekayaan) dan Kama (kesenangan)
Ketiganya
sudah pasti akan diperoleh
Kebahagiaan
hati senantiasa akan dicapai pula, jikalau
Engkau hormat (berbakti) kepada
Sang Rama
Dalam pembahasan epos Mahabharata
tercantum dalam Prasasti balitung (907 M). Kemungkinan sekali untuk
mempopulerkan epos itu, sangat membutuhkan suatu bahan dan cara yang lebih
sistematis dan metodologis. Isi pokok Mahabharata adalah menceritakan kehidupan
Pandawa dan Korawa. Pandawa mewakili kebenaran, kebaikan atau dharma, dan
Korawa mewakili kejahatan atau adharma. Dalam kaitannya dengan penghayatan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, salah satu cerita dari Mahabrata yang perlu dipakai
contoh yaitu antara lain Arjuna Wiwaha. Arjuna sebelum perang Bharatayudha
dikisahkan bertapa di gunung ndrakila untuk mendapatkan senjata-senjata sakti.
Dalam tapanya, Arjuna mendapat godaan dari sejumlah bidadari di sorga. Bidadari
yang cantik itu merayu Arjuna, namun putra Kunti itu tak tergoyahkan tapanya.
Namun ujian yang lebih berat pun muncul. Ada seekor babi siluman raksasa
momosimuka menggerogoti gunung, hingga puncak indrakila bergoyang. Babi itu
lalu dipanah oleh arjuna berbarengan dengan itu, seorang pemburu siluman Siwa
juga memanah. Dua panah itu ketika menancap pada tubuh babi tiba-tiba menjadi
satu. Maka terjadilah pertengkaran antara Arjuna dengan pemburu siluman.
Pertengkaran mulut itu bahkan di lanjutkan dengan perang tanding yang berakhir
dengan tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Pemburu itu kembali ke
wujudnya semula dan Arjuna menghaturkan sembah sujud. Dewa Siwa menganugrahkan
panah Pasupati kepada Arjuna.
Demikianlah Mahabharata sebagai alat
untuk mempelajari Weda dalam perjalanannya di Indonesia mengikuti cita-cita
umat Hindu dalam mencapai mutu hidupnya. Sampai saat ini epos besar yang
dikagumi dunia itu semakin semarak dalam berbagai bentuk budaya agama.
Sebagaimana telah disebutkan, Ramayana dan Mahabharata menurut anggapan
tradisional digolongkan Itihasa. Namun menurut sifat dan isinya, kitab Purana
pun bisa digolongkan Itihasa. Kitab-kitab Purana inipun sudah banyak disadur
agar penyajiannya lebih mudah sesuai dengan tingkat intelektualitas umat. Salah
satu dari sekian banyak kitab Purana yang diolah yakni kitab Padma Purana. Isi
kitab yang berbahsa Sansekerta itu diolah menjadi kekawinn Siwaratri Kalpa oleh
Mpu Tanakung pada zaman Majapahit akhir. Terlepas dari itu, ajaran Siwaratri
selain dinikmati oleh para rohaniawan pecinta sastra lewat kekawinnya ajaran
itu juga telah diwujudkan dengan upacara agama yang dilaksanakan pada Panglong
ping 14 sasih Kapitu. Inti pokok ajaran Siwaratri pada hakikatnya adalah
“kesadaran”. “Kesadaran” ini dilambangkan dengan melakukan pajagran atau melek selama 36 jam dari panglong ping 14 sampai
besoknya pada tileming sasih kepitu yang dikatakan sebagai tilem (bulan mati)
yang tergelap di antara tilem-tilem yang ada. Di dalam Padma Purana dan
Siwaratri kalpa tidak dijumpai istilah “dosa” tetapi yang dipakai adalah
“papa”. Si Lubdhaka yang diceritakan dalam Kakawin Siwaratri adalah orang yang
papa karena pekerjaanya hanya berburu,
membunuh saja. Ke-papa-an Si Lubdhaka dapat dilenyapkan dengan melakukan Brata
Siwaratri. Dalam Kakawin Siwaratri Kalpa disebutkan antara lain:
“sapapa niki nasa de niking atanghi
manuju siwaratri kottama”
Artinya : “kepapaan (kesengsaraan) ini
lenyap karena kesadaran menuju siwaratri yang amat utama” secara ritual, ketiga
brata (pantangan) itu dilaksanakan setiap panglong ping 14, sasih kepitu sampai
tileming kapitu selama 36 jam. Arti dan makna ketiga brata itu begitu dalam dan
merupakan wujud simbolis dari kesadaran diri yang amat dibutuhkan dalam hidup
sehari-hari untuk menghindari kepapaan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia
sering mengalami berbagai peristiwa yang membuat resah, marah, bingungn,
frustasi, kecewa, putus asa dan lain-lainnya. Untuk menghadapi hal itu, sangat
dibutuhkan kesadaran yang tinggi. Kita harus berusaha menjadi manusia-manusia
Hindu yang “tahan banting”, selalu seimbang menghadapi pujian dan cacian,
kesuksesan, kegagalan, peristiwa yang membuat sedih atau gembira dan peristiwa
lainnya. Agar selalu “sadar”, bebas, dari kegagalan, maka kita harus senantiasa
mohon tuntunan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi beliau sebagai
pembasmi segala hambatan menuju jalan dharma. Oleh karena itulah pada malam
Siwaratri kita memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa, dewa
pelebur ke-papa-an.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
0 Response to "Menghayati Tuhan Melalui Sastra Agama"
Post a Comment