PERNIKAHAN
USIA DINI
DALAM
PANDANGAN HINDU
PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HINDU, kalau kita kaji perkawinan
merupakan salah satu jenjang kehidupan yang semestinya akan kita lewati, dimana
pada jenjang ini kewajiban yang harus kita laksanakan adalah pemenuhan artha
dan kama berdasarkan dharma. Untuk pemenuhan kewajiban ini, maka seorang suami
dan pasanganya harus memiliki bekal yang cukup, baik secara material maupun
spiritual. Disamping itu, mental dan ilmu pengetahuan juga menjadi factor yang
sangat penting demi tercapainya tujuan dari perkawinan. Namun seiring dengan
derasnya arus modernisasi dan kemerosotan nilai moral yang tertanam dalam diri
manusia, banyak sekali muncul penyimpangan-penyimpangan dari pelaksanaan dan
pandangan terhadap system dan peraturan mengenai perkawinan. Tidak jarang kita
temukan kasus perceraian dalam masyarakat, tindak kekerasan dalam rumah tangga
serta kasus memiliki istri lebih dari satu. Saat ini, hal itu sangat mudah
untuk dilaksanakan dan masyarakatpun menganggap hal semacam itu dengan sikap wajar. Sebagai umat Hindu, hendaknya
permasalahan tersebut tidak terjadi, karena kita meyakini bahwa perkawinan itu
merupakan suatu ikatan lahir bhatin yang suci dan sangat sakral sifatnya yang
harus selalu dijaga keabadianya. Seperti dalam kitab Manawa Dharmasastra IX.
101, diuraikan;
“Anyonyasyawayabhicaro
Bhaweamarnantikah
Esa dharmah samasena
Jneyah stripumsayoh parah”
Artinya:
“Hendaknya
supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
Berdasarkan sloka di atas nampak jelas bahwa agama
Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar
perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi
pasangan suami istri, kita diwajibkan untuk melakukan perkawinan sekali saja
dalam kehidupan kita. Untuk itu, maka perlu bekal ilmu pengetahuan yang mapan
dan kedewasaan diri untuk melangsungkan suatu perkawinan.
Berdasarkan konsep catur asrama,
perkawinan yang baik semestinya dilaksanakan setelah masa brahmacari, dimana
kita telah memiliki suatu bekal ilmu pengetahuan yang dapat menghantarkan kita
untuk menjadi orang yang bijaksana, sehingga bentuk dan pola pikir kita siap
dalam menghadapi segala permasalahn yang kemungkinan muncul dalam kehidupan
kita. Pernikahan di usia dini merupakan hal yang telah ada sejak lama karena
sejak dulu banyak orang tua yang menikahkan anaknya di usia dini berharap
kehidupan anaknya akan lebih terjamin dengan orang yang mereka kenal. Namun,
pada kenyataannya anak yang menikah diusia dini banyak menemukan permasalahan
yang akhirnya berujung pada perceraian. Penyebab terjadinya perkawinan dini
dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengaruh ekstern, misalkan akibat lingkungan
keluarga yang kurang memperhatikan anaknya, pergaulan bebas, hingga pelecehan
seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dan hamil diluar nikah juga
merupakan alasan yang banyak dijumpai dikalangan masyarakat, sebab dilihat dari
perkembangan jaman pada era globalisasi ini telah banyak budaya-budaya asing
yang masuk dan memberi contoh yang buruk bagi perkembangan psikologis anak yang
lama-kelamaan mengkikis nilai moral dan jati diri dalam diri anak. Dan pengaruh
intern, yaitu pengetahuan agama atau sradha dalam diri seseorang yang kurang
membuat sudut pandang terhadap sesuatu hal menjadi sempit.
Agama Hindu memandang perkawinan usia
dini ini bukan merupakan suatu perkawinan yang ideal. Karena usia muda atau
remaja merupakan masa yang diharuskan untuk menuntut ilmu pengetahuan dan
dharma (Brahmacari). Setelah masa itu tercapai, maka dapat dikatakan telah siap
untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, yaitu grhasta (berumah tangga). Lebih
jauh lagi, hal ini diuraikan dalam kitab Niti Sastra V. sargah 1, yang berbunyi;
“Taki-taki
ning sewaka guna widya, smarawi, Saya rwang puluh ring anayusya, tengahi tuwuh
san wacana gogonta. Patilaring atmeng tanu panguroken”
Artinya :
Seseorang wajib menuntut ilmu pengetahuan dan
keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun orang boleh kawin. Jika setengah tua,
berpeganglah pada ucapan yang baik hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti
berguru.
Disini sangat jelas sekali diuraikan
bahwa kita semestinya memiliki kemapanan terlebih dahulu dibidang ilmu
pengetahuan sebagai dasar kearifan dan kebijaksanaan, setelah itu kita dapat
melanjutkan ke jenjang perkawinan dengan standar minimal umur kita 20 tahun.
Dalam keadaan ini, ilmu pengetahuan agama dan sradha adalah kunci utama untuk
terhindar dari permasalahan yang mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga.
Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, seperti tindak kekerasan
dalam rumah tangga, perceraian dan perkawinan berulang-ulang, memiliki istri
banyak, dan sebagainya.
0 Response to "Pernikahan Usia dini dalam Pandangan Hindu"
Post a Comment