loading...

Berguru pada Ekalawya

Aku belajar darimu, mengeja aksara, mengabulkan impian, melepas sengsara,
menyatu dengan semesta. Siapa aku, yang bermimpi menjadikan diri seorang
muridmu? Aku hanya sorang pengelana, yang tak lelah, yang selalu gelisah.

Berguru pada Ekalawya, Seorang murid, pergi belajar baik ke sekolah formal maupun sekolah informal, kedua sekolah ini membesarkan serta memberikan yang diinginkan murid. Tentu sekolah formal memberikan izasah genap dengan segala bentuk gelarnya, sementara sekolah informal menyiapkan mental murid dengan pengalaman-pengalamannya. Siapa murid? Siapa pula guru?

Murid dan guru adalah dualisme, permukaan dasar, awal akhir, diajar mengajar. Begitulah kita memandang dua kutub yang saling berlawanan sekaligus berdekatan. Seorang murid mendengarkan, menyaring, melaksanakan ajaran dari sang guru, sementara guru menurunkan segala ilmu yang dimiliki kepada muridnya. Murid yang berguru pada seorang guru kemudian memiliki hutang, nantinya hutang ini ditebus dengan pengabdian sorang murid pada guru. Hutang piutang pengabdian dibayar dalam bentuk apa saja sebagai bentuk rasa hormat dan bakti atas ilmu dan ajaran yang telah diberikan. Ilmu dicari melalui pengorbanan, kelak si murid akan mengunakannya dengan hati-hati.

Kini, ilmu mengalami penyempitan makna, masyarakat awam beranggapan ilmu hanya didapat di sekolah formal melalui pencapaian tertingginya yang bernama gelar. Tidak heran jika sekolah formal mendapat banyak murid, sekolah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Sekolah-sekolah nasional plus, internasional plus banyak bermunculan menawarkan berbagai macam fasilitas dan kemudahan pada siswanya. Tengok sejenak beberapa sekolah, fasilitas bangunan luar biasa, fasilitas guru juga tak kalah hebatnya. sekolah swasta bisa membayar gaji gurunya dengan angka yang fantastis, sementara sekolah negeri menawarkan keunggulan nama beken sekolahnya.

Tak ada lagi Ekalawya yang berguru pada patung Mahaguru Drona lalu menjadi pemanah hebat. Kisah Ekalawya yang tragis sekaligus legendaris membuat saya terharu sekaligus sedih. Keterharuan muncul karena Ekalawya hanya dengan guru imajiner bisa menjadi pemanah hebat, sedangkan kesedihan muncul karena pendidikan kehilangan esensinya. Ekalawya datang tanpa identitas diri, bermaksud mencari identitas dan pengakuan terhadap ilmu dan dirinya didapatkan dengan pengorbanan, Ekalawya tetap gigih mengejar mimpi menjadi pemanah hebat.

Pada akhirnya saya berfikir, sekolah sesungguhnya adalah hidup ini sendiri. Kita belajar sepanjang waktu. Lulus atau tidak tergantung dari tingkat kelulusan dan pengorbanan terhadap ilmu itu sendiri. Ilmu dicari sepanjang hayat. Sebab, kita adalah jiwa-jiwa sengsara yang selalu gelisah dan tak lelah berkelana.

Sumber : Made Ari Dwijayanthi

0 Response to "Berguru pada Ekalawya"