MAKNA BIJA
Setiap hari raya agama hindu, umat hindu pasti melakukan persembahyangan di pura. Kita semua sudah mengetahui di akhirr persembahyangan umat hindu akan dibagikan tirta dan bija. namun fakta menunjukan bahwa sebagian besar umat hindu belum memahami makna dari tirta dan bija tersebut. Banyak orang yang pasti bertanya-tanya kalau nunas bija berapa sebaiknya dan dimana sebenarnya meletakan bija yang baik dalam sembahyang sesuai dengan aturan tatva, karena banyak cara dan bagaimana yang paling benar?pertanyaan ini sangat baik sekali. mengandung filosofis tetapi juga praktis. Hal -hal seperti ini memang baik ditanyakan karena manfaatnya besar dalam kehidupan sehari-hari.
BIJA sebaiknya dari beras yang uruh, tidak pecah atau terpotong. alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh. Nunas bija dimaksudkan untuk menanam dan menumbuhkan sifat kedewataan dalam setiap orang. Tempat menanamnya juga tidak sembarangan. Idaratnya menanam biji jagung di atas batu atau tanah gersang sulit sekali tumbuh. Oleh karena itu, tempat menaruh bija di badan manusia ada aturannya. Di dalam tubuh atau didaerah tertentu yang peka terhadap rangsangan atau sentuhan dari luar. Contoh rangsangan suara, daun dan lubang telingalah yang paling peka menerimanya. Kulit adalah untuk menerimah sentuhan. Lalu kalau bija dimana sebaiknya ditaruh agar mudah tumbuh dan berkembang sifat kedewataan kita? Ada lima titik peka untuk menerima rangsangan kedewataan yang disebut Panca Adisesa yakni titik-titik berikut ini :
- Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
- Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ni disebut Hana hatta cakra.
- Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
- Di dalam mulut atau langit-langit.
- Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.
Pada waktu sembahyang, karena kita berpakaian lengkap, tentu agak sulit menaruh bija pada titik pusar (manipura cakra) . untuk lebih praktisnya agar tidak membuka baju atau kain, cukuplah tiga titik kedewataan yang letaknya terbuka saja yakni pada (1) anja cakra , sedikit diatas dua alis mata; (2) di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia; dan (3) di leher, di wisuda cakra. Didalam kenyataannya, banyak orang belum tahu tempat kedewataan itu sehingga menaruh bija di tempat yang kurang peka. Tentu saja akan agak sulit menggelitik sifat kedewataan atau tuhan yang ada dalam diri manusia. Umpanya di taruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada pula juga menaruh pada pangkal di telingah bagian luar. Lebih aneh lagi sisa bija yang agak banyak itu dihamburkan di atas kepala sehingga memenuhi rambut. Jelas-jelas ini berlebihan dan kurang ekonomis. Jumlah bija yang mesti ditaruh diketiga titik ketuhanan itu sebaiknya berjumlah kelipatan tiga kerena angka tiga itu adalah angka keramat dan mistik, umpanya tiga, enam, Sembilan dan seterusnya. Dapat dimaklumi bahwa kesempatan menghitung tiga bija pada saat itu baik si pemberi maupun penerima bija agak sulit dan risih. Dalam hal seperti itu, perkiraan jumlah, dapat digunakan jangan terlalu banyak . cukup satu jumput kecil dengan ujung jari saja diambil.
MAKNA AIR TIRTHA
Didalam persembahyangan agama Hindu, salah satu sarana yang penting adalah air. Yang biasa digunakan untuk membersihkan tangan sebelum persembahyangan dimulai serta menjadi air suci yang disebut dengan Tirtha. Kata “Tirtha” berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti kesucian atau setitik air, air suci, bersuci dengan air. Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Yang mana dalam penerapan pemakaianna yaitu dipercikan dikepala, diminum dan diusapkan dimuka. Itu sebagai simbolis pembersih bayu,sabda dan idep.
Macam-Macam Tirtha
Dalam melakukan persembahyangan Tirtha terbagi menjadi dua jenis yaitu Tirtha Pembersih dan Tirtha Wangsuhpada. Tirtha Pembersih berfungsi untuk menyucikan upakara(bebanten) yang dipakai sarana persembahan dan juga dipakai untuk menyucikan diri dari segala kekotoran. Biasanya Tirtha Pembersihan dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan. Setelah upakara dan diri sendiri diperciki tirtha pembersihan baru dilangsukan persembahyangan. Sedangkan Tirta Wangsuhpada merupakan lambang karunia / wara nugraha Ida Bhatara kepada umat yang memuja berupa Amrta (kehidupan yang sejahtera). Biasanya Tirtha Wangsuhpada dipergunakan ketika persembahyangan selesai. Jadi fungsi tirtha dalam persembahyangan adalah sebagai pembuka dan penutup persembahyangan. Tirtha juga dapat dibedakan dari cara memperolehnya yaitu sebagai berikut :
1. Tirtha yang dibuat oleh Sulinggih
Pembuatan Tirtha oleh Sulinggih/ Sang Diksita / Sang Dwijati khususnya untuk tirtha pembersihan, sebagai dasar untuk penggunaan jenis tirtha yang lainnya. Tirtha yang didapat dengan membuat hanya boleh dibuat oleh Sulinggih atau Pendeta (Dwijati). Selain Tirtha pembersihan, juga ada Tirtha Pengelukatan yang mana juga sebagai pokok pada setiap upacara.
2. Tirtha yang didapat melalui memohon (nuur) oleh Pemangku, Pinandita atau Sang Yajamana (penyelenggara upacara)
Jenis Tirtha ini disebut Tirtha Wangsuhpada, kekuluh atau banyun cokor. Biasanya terdapat di suatu pura atau tempat suci. Permohonan tirtha wangsuhpada, kekuluh atau banyun cokor dilaksanakan oleh pemangku yang bersangkutan. Tirtha yang dimohon di pura oleh pemangku yang bersangkutan seperti tirtha pembersihan atau penglukatan bebanten upakara dan umat yang akan bersembahyang berfungsi untuk pembersih atau penyucian dan sebagai simbolis/sarana untuk mendorong umat untuk menyucikan diri dengan mengheningkan rohaninya untuk dapat lebih mudah mendekatkan dirinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jika ditinjau dari Fungsinya Tirtha dapat dibedakan sebagai berikut :
- Tirtha Pembersihan
- Tirtha Pengelukatan
- TIrtha Wangsuhpada
- Tirtha Pemanah
- Tirtha Penembak
- Tirtha Pengentas
Dapat disimpulkan sesungguhnya Tirtha adalah benda materi yang sakral, yang mampu menumbuhkan perasaan dan pikiran yang suci. Jadi Tirtha bukanlah air biasa semata. Dan untuk membuktikan kesucian tirtha harus dilandaskan pada Kepercayaan. Karena tirtha adalah sarana agama. Dalam membuktikan kebenaran agama dasar utamanya adalah kepercayaan. Jadi tanpa dilandaskan kepercayaan semeton tidak akan mampu membuktikan bahwa tirtha bukanlah air biasa. Jadi kita harus dapat mengayakini diri kita bahwa didalam Tirtha terdapat kekuatan spiritual dari para Dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.
0 Response to "MAKNA BIJA DAN TIRTHA DALAM PERSEMBAHYANGAN UMAT HINDU"
Post a Comment