Makna Hari Raya Tumpek bagi umat Hindu, Tumpek berasal dari dua kata bahasa Kawi: Tu = keluar/ selesai; Pek = pendek/ akhir. Jadi Tupek kemudian menjadi Tumpek artinya adalah hari yang selesai/ berakhir ‘semuanya’. Dalam hal ini:
· akhir Pancawara
· akhir Saptawara
· akhir Wuku
ketiganya bertemu pada satu hari/ tanggal. Maka dalam sistim kalender Bali ada 6 hari Tumpek, yaitu:
1. Tumpek Landep
2. Tumpek Wariga
3. Tumpek Kuningan
4. Tumpek Krulut
5. Tumpek Uye
6. Tumpek Wayang
1. Asal – usul Tumpek Wayang
Tumpek Wayang berasal dari dua kata yaitu “Tumpek” dan “Wayang”.
istilah Tumpek lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran
yaitu “Saniscara” (Akhir Sapta Wara) dan “Kliwon” (akhir dari Panca
Wara). Setiap pertemuan saniscara dan Kliwon disebutlah “Tumpek” (“tu”
berarti metu atau lahir dan “Pek” berate putus/berakhir). Sedangkan kata
“wayang” selain merupakan bagian dari “wuku” juga mengandung arti
sebagai “bayang” atau “bayang-bayang”
Sementara itu kalau dikaji secara filosofis-ritual pelaksanaan upacara “Tumpek Wayang” itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan atau kerahayuan umat. Dalam prakteknya, upacara Tumpek Wayang ini diperuntukkan bagi semua jenis “reringgitan” seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong, gender,gambang, genta gendongan).
2. Mitologi / Cerita latar belakang Tumpek Wayang
Dalam mitologi, diuraikan dalam Lontar Kala Tattwa
bahwa pada wuku wayang sebaiknya tidak ada kelahiran manusia, karena di
hari Tumpek Wayang adalah kelahiran Bhatara Kala (putra Bhatara Siwa).
Manusia jangan ‘memada-mada’ (menyamai) Bhatara Kala.
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma
di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis
Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa
ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi
menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku
Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air
mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa
yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari
Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan
Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum
Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu
ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orang
tuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat
melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa
Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya,
Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang
lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan orang yang jalan-jalan di
tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara,
juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa,
Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara
Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan
itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar
selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala.
Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam
pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin
dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka
memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala
jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari
condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki
dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk
memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka,
Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang.
Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya
terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang
meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara
Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia
berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang,
jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".
Hipotesis
yang menguatkan tentang latar belakang upacara nyapuh leger dengan
media wayang kulit pada Tumpek Wayang adalah data sastra dalam naskah
lontar. Salah satunya lontar Kala Purana berbunyi: ''... Muwah
binuru sang Pancakumara; katekang ratri masa ning tengah wengi. Hana
dalang angwayang, nemoning tumpek wayang, sang anama Mpu Leger. Sampun
angrepakena wayang, saha juru redep/ gender/nya, wus pada tinabeh, merdu
swaranya, manis arum....''.
Artinya,
setelah dikejar sang Pancakumara oleh Dewa Kala, sampai menjelang
tengah malam ada seorang pria/dalang bernama Mpu Leger mempertunjukkan
wayang pada waktu Tumpek Wayang. Setelah menghadap di depan kelir segera
juru gender membunyikan gamelannya, suaranya merdu dan nyaring....
Dalam Lontar Jyotisha, disebutkan bahwa posisi benda-benda angkasa (matahari, bulan, bintang) mempengaruhi perilaku manusia.
Di saat Wuku Wayang, posisi benda angkasa itu tidak baik, dan berpengaruh kurang baik pula pada bayi yang lahir di saat itu.
3. Kajian Upacara
UPAKARA
Sesuai
dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang, khususnya
Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil
wawancara (baca: Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang
pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan
bahwa untuk upacaranya sebagi berikut :
1. Umum.
Untuk upakara dimaksud adalah dihaturkan kehadapan-Nya bagi sang maweton secara keseluruhan antaranya :
1. Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang ).
2. Ring Sor Surya : Caru mancasata
3. Banten Panebasan san Maweton :
4. Banten arepan Kelir :
5. Ring Lalujuh Kelir
6. Banten Sang Dalang Mpu Leger : Bebangkit Asoroh
7. Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala
8. Tebasan Sungsang Sumbel
9. Tebasan Sapuh Leger :
10. Tebasan Tadah Kala :
11. Tebasan Penolak Bhaya :
12. Tebasan Pangenteg Bayu :
13. Tebasan Pengalang Hati :
14. Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan :
15. Daksina Panebusan Bhaya :
16. Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar,gumpang injin,gumpang ketan,gumpang padi , rambut Ida Pandita lan menyan,
dengan
upakara suci pejati lan segehan panca warna ditempatkan di pane . semua
proses ini dilakukan didepan angkul angkul baru dilanjut kan dengan
pelukatan secara bersama sama ring pemedal lebuh..
Tirta pemuput :
1. Tirta Kelebutan
2. Tirta Campuan
3. Tirta Segara
4. Tirta Melanting
5. Tirta Pancuran
6. Tirta Tukad Teben Seme/Setra
7. Tirta Padmasari ring Sekrtariat
8. Tirta Merajan soang soang
9. Tirta Pengelukatan Wayang
10. Tirta Jagat Nata
11. Tirta Pemuput/ Sulinggih
2. Khusus.
Disamping
upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang
dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa
: Suci pejati, Praspengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai
urip kelahiran, sesayut pengenteg bayu,merta utama, pageh urip dan
disurya munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep
dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan kelahiran ; :
1. Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma –
2. Wetu Soma : Sesayut Nila Kusuma Jati / Citarengga
3. Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma / Carukusuma –
4. Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati / Purnasuka
5. Wetu Wraspati : Sesayut Pawal Kusuma Jati / Gandha Kusumajati –
6. Sesayut sang wetu Sukra: SESAYUT RAJA KUSUMA JATI / WILET JAYA RAJA DIRA
7. Sesayut sang wetu Sukra: SESAYUT RAJA KUSUMA JATI/WILET JAYA RAJA DIRA:
8. Wetu Saniscara : Sesayut Gni Bang Kusuma Jati / Kusuma Gandha Kusuma
4. Kajian Tatwa dari Upacara Tumpek Wayang
Sapuh Leger
Kata
Sepuh Leger berasal dari kata Sepuh dan Leger yang artinya pembersihan
dari kekotoran dan masyarakat lakon ini ditampilkan melalui pertunjukkan
wayang, secara keseluruhan “ Wayang Sapuh Leger adalah drama ritual
dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk
pembersihan atau penyucian diri seorang akibat tercemar atau kotor
secara rohani.
Di
masyarakat berkembang adanya suatu pertanyaan sekaligus pendapat
tentang hal itu, yaitu yang benar dan patut tentang “dalang brahman atau
brahmana dalang”. untuk hal itu, disamping sebagai wujud bhakti
kehadapan Ida Bhatara Kawitan dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan juga
sebagai pelaksanaan bhakti sosial kehadapan umat hindu juga untuk
memberikan pemahaman kehadapan umat hindu tentang pelaksanaan upacara
Sapuh Leger baik dari segi tata laksana proses dan yang berhak dan
berkewenangan untuk “muput”.
Sesuai
dengan apa yang disebutkan di depan tentang pemberian suatu pemahaman
perihal pelaksanaan upacara Sapuh Leger, pada kesempatan ini disampaikan
beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang Amengku Dalang (Dalang
Mpu Leger) yang berkewenangan sebagai pemuput dan dibantu oleh yang
lainnya, adalah sebagai berikut :
1. Dalang
seharusnya seorang Dalang Brahmana yaitu seorang Pandita sebagai Dalang
dan atau yang berlatar belakang dalang yang disebut Ida Mpu Leger.
2. Beliau adalah seorang Mpu Leger yang mampu dan paham serta menguasai Ketattwaning / Dharma Pewayangan.
3. Beliau
juga tahu dan paham serta menguasai mantram pengelukatan seperti : Agni
Nglayang, Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Leger serta mantram
pengelukatan lainnya.
4. Beliau
memang benar-benar mampu dan menguasai Gagelaran sebagai seorang
Pandita (Mpu Leger) dan dalam segala tindak tanduk dan tingkah laku
tiada terlepas dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya sebagai Sang
Satya Wadi, Sang Apta, Sang Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa
(siwa-sadha siwa-parama siwa).
Beberapa
tattwa atau filsafat yang dipakai rujukan pada pelaksanaan Upacara
Bebayuhan Sapuh Leger ini salah satunya rujukan dari ;
1. Lontar Kala Purana ( Pusdok Denpasar lembaran 1 s/d 89).
2. Lelampahan Wayang Sapuh Leger (K 2244) 1 s/d 100 dan bebantenannya.
3. Kidung Sapuh Leger (645).
4. Pedoman Pelaksanaan Bebayuhan Sapuh Leger Oleh Ida Bgs Puja
5. Warespati Tatwa lan Bebayuhan Oton
6. Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger MGPSSR Kecamatan Gianyar 2010
7. Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali Oleh I Dewa Ketut Wicaksana.
0 Response to "Makna Hari Raya Tumpek bagi umat Hindu "
Post a Comment